Tampilkan detail
|
PERILAKU SANG PENCINTA
CINTA adalah anugerah yang Allah berikan kepada setiap makhluk-Nya, terkhusus manusia. Ketika
rasa itu telah merasuk pada setiap diri bani Adam, maka semua yang diterima, atas konsekuensi
cintanya, akan terasa indah lagi menyenangkan, sekalipun realitasnya balasan yang didapat sangat
membebani fisik, pikiran dan perasaan. Menyitir pribahasa anak muda saat ini, “Kalau sudah cinta,
tahi kucing pun terasa cokelat,” ujar mereka.
Ini merupakan satu ungkapan, yang berupaya menjelaskan akan keunikan cinta. Sehingga, hal yang
sangat sukar sekalipun (tahi kucing), akan terasa seolah cokelat. Ya begitulah, tak ada istilah pamrih
bagi orang yang sedang dimabuk cinta. Semua perjuangan yang dilakukan dibangun atas ‘keikhlasan’
yang tinggi, karena ingin membuktikan kebenaran cinta yang ada di dalam dada. Dan itu bukanlah
sebuah kekeliruan. Justru, itulah ekspresi ataupun ‘akrobat’ dasar yang ditimbulkan cinta murni, yang
tumbuh dari jiwa nan suci.
Ketika cinta tidak melahirkan ekspresi yang demikian dahsyat/spektakuler, maka patut dipertanyakan,
apakah benar cinta yang dipersembahkan merupakan cinta yang tulus murni, atau, sebaliknya, hanya
pemanis mulut saja, tapi hati berkata tidak? Istilahnya, ada udang di balik batu. Atau, yang lebih
ekstrim lagi, munafik.
Untuk menakar kemurnian itu, bisa kita lihat dari tindak-tanduk sang pecinta dalam memenuhi hajat
yang dicintai, ketika ‘sang-dipuja’ menuntut pengorbanan. Apabila dia melaksanakan tugas dengan
sungguh-sungguh penuh semangat, ikhlas, tanpa keluh kesah, maka bisa diprediksi bahwa cintanya
tulus dan murni.
Namun, apa bila yang terjadi justru sebaliknya, banyak protes, ogah-ogahan, baru menapaki jalan yang
sedikit terjal sudah tidak kuat melangkahkan kaki barang setapak, maka, kita sendiri bisa mengecap,
cinta model apakah ini?
Kisah Cinta Sejati Ibrahim pada Allah
‘Rumus’ (Menguji kemurnian cinta) di atas bisa kita temukan di al-Quran yang menjelaskan bahwa
tidak lah cukup bagi seorang hamba membuktikan cinta (imannya) kepada Allah, hanya dengan
mengungkapkan di bibir semata, bahwa dia telah beriman kepada Allah, kemudian mereka dibiarkan
begitu saja. Sekali-kali tidak. Mereka perlu membuktikan akan keafsahan apa yang telah mereka
ikrarkan. Karenanya, mereka akan diuji dengan beberapa ujian, sehingga nampaklah yang benar-benar
beriman dan yang munafik di antara mereka.
Firman Allah: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan,
“kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum
mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang
dusta.” (Al‘Ankabut:2-3).
Dalam perjalanan, tidak sedikit manusia yang gagal dalam menjalani ‘tes-tes’ kemurnian cinta, yang
Allah berikan. Banyak di antara mereka yang ‘gugur’ di pertengahan jalan. Bahkan, tidak sedikit pula
yang berjatuhan di saat ‘genderang’ ujian baru ‘ditabuh’. Potret pribadi-pribadi macam ini, sampelnya,
bisa kita temukan pada sosok orang-orang munafik, yang memisahkan diri dari barisan pasukan perang
kaum muslimin, pada perang Badar.
Saat itu, dengan mudahnya mereka menyatakan kesetian kepada baginda Rosul. Siap membela beliau
baik dalam kondisi suka maupun duka, lapang ataupun sempit. Namun apa yang terjadi ketika ikrar
tersebut diuji, mereka gagal. Nampak jelas kebusukkan hati mereka. Sumpah setia yang mereka
umbar, hanyalah pemanis bibir semata. Sungguh, kecelakaan hiduplah bagi mereka.
Setali tiga uang, mereka yang sukses melewati ujian-ujian tersebut, pun banyak, meskipun jumlah
mereka jauh lebih sedikit dari mereka yang gagal. Dan salah satu di antaranya adalah Nabi
Ibrahim ’Alaihi Salam.
Nabi Ibrohim, selain mendapat gelar sebagai ‘Abu Al-Anbiya’ (Bapaknya para Nabi), beliau juga
termasuk Nabi dalam kategori ‘Ulul ‘Azmi’. Tentu saja, sederet gelar tersebut tidak serta-merta
menempel di pundaknya, tanpa melalui proses perjuangan yang tinggi.
Ujian cinta beliau terhadap Allah, sangatlah terjal. Namun, sekalipun demikian getirnya, dengan sabar
dan disertai ketulusan yang sangat, hanya untuk mengharapkan ridho Allah, beliau hadapi ujian itu
tanpa harus berkeluh-kesah.
Salah satu ujian yang harus beliau hadapi adalah menerima kenyataan, di mana perintah menyembelih
anak semata wayangnya, Ismail. Padahal, jauh sebelum itu, ketika anak laki-laki tersebut masih dalam
buaian, beliau tinggalkan bersama sang-ibu, di padang sahara yang tak ada aura kehidupan, tanpa
bekal yang berarti.
Dan kini, setelah anak itu tumbuh dewasa menjadi pribadi yang sholeh, taat kepada orangtua,
datanglah perintah untuk menyembelihnya. Siapa pun dia, sebagai orang tua, tentu galau menerima
perintah demikian. Tak terkecuali Nabi Ibrahim. Karenanya, setelah mendapat mimpi demikian selama
tiga kali, beliau kemudian menuturkan prihal mimpinya kepada sang-buah hati.
Subhanallah, setelah mendapat penjelasan dari sang-ayah, Ismail dengan mantap berujar, “Wahai
ayahanda, sekiranya itu benar-benar perintah dari Allah, maka laksanakanlah. Mudah-mudahan engkau
menemukanku termasuk orang yang bersabar.”
Singkat cerita, Ibrahim pun melaksanakan titah Allah SWT. Namun, dalam prosesnya kelak, Allah
memrintahkan Ibrahim untuk mengganti penyembelihan Ismail, dengan binatang ternak (lembu).
Dengan peristiwa ini, luluslah Ibrahim dari ujian cinta yang Allah berikan. Sebesar apapun cinta beliau
terhadap Ismail, sebagai orang tua yang telah lama menanti kehadirannya, namun, tidak sebanding
dengan cinta beliau kepada Allah. Karenanya, perintah penyembelihanpun beliau laksanakan, demi
membuktikan kemurnian cintanya pada Allah. Inilah tauladan cinta sejati itu.
Bukan Cinta Buta
Cinta yang menghujam dalam diri Ibrohim, bukanlah cinta buta. Cinta yang beliau miliki adalah cinta
murni nan tulus yang tumbuh dan memekar dalam hati (bukan dilandasi nafsu). Dan itu terjadi karena
proses yang beliau lalui dalam menghadirkan cinta, itu benar, yaitu melalui pengenalan yang
mendalam.
Kita tentu sangat akrab dengan pernyataan para pujangga, “Tidak kenal maka tidak sayang. Tidak
sayang, maka tidak cinta”. Dan proses itulah yang telah melahirkan makrifat cinta Ibrohim yang begitu
mendalam terhadap Tuhannya. Tak ubah pohon yang akarnya menghujam ke dasar tanah yang paling
dalam, sehingga tidak mudah digoyahkan oleh badai sekalipun.
Hal tersebut, tersirat dalam proses pencarian Tuhan yang dilakukan Ibrohim. Dan keyakinan itu
dipertabal kembali, dengan dikabulkannya permintaan/do’a Ibrohim, untuk menyaksikan secara nyata,
bagaimana Allah menghidupkan dan mematikan makhluk-Nya. Kemudian, Allah memerintahkannya
untuk menyembelih beberapa ekor burung, kemudian, diletakkan di atas bukit. Ketika Ibrohim
menyeru keduanya, mereka pun datang memenuhi panggilan. Subhanallah. Dengan peristiwa ini,
tambah mengakarlah cinta Ibrohim kepada Allah.
Sebagai penutup, marilah kita intropeksi diri, sudahkah kita mengenal Allah, Tuhan kita, secara utuh,
sehingga melahirkan mahabbah (rasa cinta) yang benar-benar terhadap-Nya? Sebab realitas saat ini,
banyak orang mengaku Muslim, tapi mereka tampil sebagai penentang Tuhan yang mereka sembah.
Boleh jadi hal ini disebabkan dangkalnya makrifat mereka terhadap Allah sehingga berdampak
minimnya stok cinta yang mereka miliki. Banyak orang mengaku cinta pada agamanya dan cinta pada
Allah, namun antara lisan dan hatinya tak sesuai dengan ucapannya. Banyak orang memburu wanita
pujaanya, bahkan rela mengorbankan nyawanya sendiri. Namun ketika mereka mengaku cinta pada
agama dan Tuhannya, tak mampu mengorbankan dirinya sebagai ungkapan "cinta" itu. Semoga bisa
meniru Nabiullah Ibrahim alaihi salam. [Robinsah/hidayatullah.com]
2 dari 2
Chiqin.doc
1 dari 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar