CINTA adalah anugerah yang Allah berikan kepada setiap makhluk-Nya, terkhusus manusia. Ketika
rasa itu telah merasuk pada setiap diri bani Adam, maka semua yang diterima, atas konsekuensi
cintanya, akan terasa indah lagi menyenangkan, sekalipun realitasnya balasan yang didapat sangat
membebani fisik, pikiran dan perasaan. Menyitir pribahasa anak muda saat ini, “Kalau sudah cinta,
tahi kucing pun terasa cokelat,” ujar mereka.
Ini merupakan satu ungkapan, yang berupaya menjelaskan akan keunikan cinta. Sehingga, hal yang
sangat sukar sekalipun (tahi kucing), akan terasa seolah cokelat. Ya begitulah, tak ada istilah pamrih
bagi orang yang sedang dimabuk cinta. Semua perjuangan yang dilakukan dibangun atas ‘keikhlasan’
yang tinggi, karena ingin membuktikan kebenaran cinta yang ada di dalam dada. Dan itu bukanlah
sebuah kekeliruan. Justru, itulah ekspresi ataupun ‘akrobat’ dasar yang ditimbulkan cinta murni, yang
tumbuh dari jiwa nan suci.
Ketika cinta tidak melahirkan ekspresi yang demikian dahsyat/spektakuler, maka patut dipertanyakan,
apakah benar cinta yang dipersembahkan merupakan cinta yang tulus murni, atau, sebaliknya, hanya
pemanis mulut saja, tapi hati berkata tidak? Istilahnya, ada udang di balik batu. Atau, yang lebih
ekstrim lagi, munafik.
Untuk menakar kemurnian itu, bisa kita lihat dari tindak-tanduk sang pecinta dalam memenuhi hajat
yang dicintai, ketika ‘sang-dipuja’ menuntut pengorbanan. Apabila dia melaksanakan tugas dengan
sungguh-sungguh penuh semangat, ikhlas, tanpa keluh kesah, maka bisa diprediksi bahwa cintanya
tulus dan murni.
Namun, apa bila yang terjadi justru sebaliknya, banyak protes, ogah-ogahan, baru menapaki jalan yang
sedikit terjal sudah tidak kuat melangkahkan kaki barang setapak, maka, kita sendiri bisa mengecap,
cinta model apakah ini?
Kisah Cinta Sejati Ibrahim pada Allah
‘Rumus’ (Menguji kemurnian cinta) di atas bisa kita temukan di al-Quran yang menjelaskan bahwa
tidak lah cukup bagi seorang hamba membuktikan cinta (imannya) kepada Allah, hanya dengan
mengungkapkan di bibir semata, bahwa dia telah beriman kepada Allah, kemudian mereka dibiarkan
begitu saja. Sekali-kali tidak. Mereka perlu membuktikan akan keafsahan apa yang telah mereka
ikrarkan. Karenanya, mereka akan diuji dengan beberapa ujian, sehingga nampaklah yang benar-benar
beriman dan yang munafik di antara mereka.
Firman Allah: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan,
“kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum
mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang
dusta.” (Al‘Ankabut:2-3).
Dalam perjalanan, tidak sedikit manusia yang gagal dalam menjalani ‘tes-tes’ kemurnian cinta, yang
Allah berikan. Banyak di antara mereka yang ‘gugur’ di pertengahan jalan. Bahkan, tidak sedikit pula
yang berjatuhan di saat ‘genderang’ ujian baru ‘ditabuh’. Potret pribadi-pribadi macam ini, sampelnya,
bisa kita temukan pada sosok orang-orang munafik, yang memisahkan diri dari barisan pasukan perang
kaum muslimin, pada perang Badar.
Saat itu, dengan mudahnya mereka menyatakan kesetian kepada baginda Rosul. Siap membela beliau
baik dalam kondisi suka maupun duka, lapang ataupun sempit. Namun apa yang terjadi ketika ikrar
tersebut diuji, mereka gagal. Nampak jelas kebusukkan hati mereka. Sumpah setia yang mereka
umbar, hanyalah pemanis bibir semata. Sungguh, kecelakaan hiduplah bagi mereka.
Setali tiga uang, mereka yang sukses melewati ujian-ujian tersebut, pun banyak, meskipun jumlah
mereka jauh lebih sedikit dari mereka yang gagal. Dan salah satu di antaranya adalah Nabi
Ibrahim ’Alaihi Salam.
Nabi Ibrohim, selain mendapat gelar sebagai ‘Abu Al-Anbiya’ (Bapaknya para Nabi), beliau juga
termasuk Nabi dalam kategori ‘Ulul ‘Azmi’. Tentu saja, sederet gelar tersebut tidak serta-merta
menempel di pundaknya, tanpa melalui proses perjuangan yang tinggi.